Penggunaan Kalimat Efektif

Posted by Wahyudi On 09.56 0 komentar

Menyusun kalimat efektif memerlukan syarat-syarat tentang pemilihan kata yang berkaitan dengan kata-kata yang bersinonim, yaitu (1) tetap, (2) sekasama (sesuai), dan (3) lazim (Soedjoto, 1988: 1). Syarat tepat berkaitan dengan situasi, misalnya dengan siapa kita berbicara, dimana, kapan, dan sebagainya. Seksama (sesuai) berkaitan dengan distribusi, yaitu penggunakan kata tugas yang bersinonim, misalnya untuk, bagi, buat, demi, dan sebagainya. Adapun lazim berkaitan dengan situasi, nilai rasa maupun distribusi.



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu kebanggaan nasional, bahasa Indonesian harus selalu dibina dan dikembangkan sesuai dengan situasi zaman. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dapat dilakukan secara formal, informal, dan non formal. Berkaitan dengan hal tersebut, pengajaran bahasa Indonesia di sekolah pada dasarnya merupakan salah satu bentuk usaha pembinaan dan pengembangan bahasa, dilakukan melalui jalur formal. Dengan pengajaran tersebut, diharapkan siswa tidak hanya mengetahui terori bahasa, melainkan benar-benar mampu berbahasa baik dan benar.
Kata-kata bersinonim dapat berupa kata, kelompok kata, frase, atau kalimat. Mesikipun demikian yang dianggap sinonim hanya kata-kata saja. Sering dijumpai bentuk menanti digunakan secara bergantian dengan bentuk menunggu, bentuk meninggal dunia dena bentuk wafat, tewas, mati dan gugur, bentuk mengimbau dengan bentuk mengajak, mengharap, dan sebagainya. Ketepatan bentuk mengajak, mengaharap, dan sebagainya. Ketepatan menggunakan kata-kta bersinonim dalam kegiatan berbahasa, baik secara lisan maupun tertulis, turut menentukankejelasan, ketepatan, dan kesatuan suatu gagasan yang disampaikanolehpenutur maupun informsi yang diterima olehpenanggap. Apabila kosa kata memadai, maka komunikasiakan mengalami hambatan. Oleh karena itu penguasaan kosa kata sangat penting dalam kegiatan berbahasa. Penggunaan sinonim adalah kemampuan yang termasuk dalam lingkup penguasaan kosa kata. Jadi dengan munculnya kata-kata bersinonim akan membawa manfaat. Sehubungan dengan manfaat sinonim, Aminuddin (1988: 119). Berpendapat bahwa dalam kegiatan mengarang maupun penataan gaya bahasa dalam ujaran sinonim lebih membuka peluang untuk (1) memilih kosa kata yang lebih sesuai dengan konteks, tanpa mengubah gagasan, (2) mengadakan variasi dalam kegiatan kosa kata, sehingga ujaran, maupun karangan yang ditampilkan lebih segar, (3) memilih kosa kata yang terasa lebih akrab dengan penanggap, dan (4) membuka peluang bagi pengarang maupun penutur untuk menyusun paparan lebih memberikan kesan akademis, maupun porfesional.
Menyusun kalimat efektif memerlukan syarat-syarat tentang pemilihan kata yang berkaitan dengan kata-kata yang bersinonim, yaitu (1) tetap, (2) sekasama (sesuai), dan (3) lazim (Soedjoto, 1988: 1). Syarat tepat berkaitan dengan situasi, misalnya dengan siapa kita berbicara, dimana, kapan, dan sebagainya. Seksama (sesuai) berkaitan dengan distribusi, yaitu penggunakan kata tugas yang bersinonim, misalnya untuk, bagi, buat, demi, dan sebagainya. Adapun lazim berkaitan dengan situasi, nilai rasa maupun distribusi.
Sehubungan hal itu Abdul Razak (1988: 7) mengatakan bahwa kalimat efektif selalu memiliki struktur atau bentuk yang jelas. Setiap unsur yang terdapat di dalamnya yang pada umumnya terdiri dari kata harus menempati yang jelas dalam hubungannya satu sama lain. Kata-kata itu pasti diurutkan aturan-aturan yang sudah dibiasakan. Tidak boleh menyimpang apalagi yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Pemakai bahasa itu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemakai bahasa yang mengidahkan syarat-syarat kalimat efektif cenderung menggunakan kalimat yang sederhana, mudah dipahami pembaca, serta dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan secara cepat.
Menurut Tarigan, (1985: 80), tujuan pengajaran sinonim antara lain (1) membantu siswa dalam menelaah kosa kata, (2) menjadi wahana yang praktis dan efektif untuk menyampaikan gagasan-gagasan umum, serta untuk melihat hubungan antar kata-kata yang sama atau yang mirip.
Di sisi lain Gorrys Keraf (1981: 2) berpendapat bahwa dalam pengajaran komposisi siswa kurang mampu menguasai kata. Akibatnya siswa kurang mampu menguasai kata.akibatnya siswa tidak dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan secara tepat. Kalimat-kalimatnya sering tidak mampu mengembangkan idenya secara teratur dan berkisambungan. Kelemahan lain yang menyebabkan ketidakmampuan siwa dalam berbahasa adalah, (1) adanya pengajar non bahasa yang tidak benar, (2) metode pengajaran bahasa lebih menekankan penguasaan kaidah-kaidah gramatikal dan bukan latihan kemahiran, dan (3) karena situasi kebahasaan yang terlalu tidak menguntungkan anak didik untuk pengajaran bahasa Indonesia secara efektif, menjadikan beban tugas pengajaran bahasa Indonesia dirasakan berat tentang penguasan kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat efektif.

B. Rumusan Masalah
Secara operasional, lingkup masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.Bagaimanakah penguasaan siswa kelas ……………………………..Tahun pelajaran 2010/2011 entang
makna dasar dan makna tambahan kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat efektif?
2.Bagaimanakah penguasaan siswa kelas ………………………………………. Tahun pelajaran 2010/2011
tentang nilai rasa (makna emotif) kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat
efektif?
3.Bagaimanakah penguasaan siswa kelas ………………………………….. Tahun pelajaran 2010/2011
tentang distribusi kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat efektif?

C. Tujuan Penelitian
1.Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran objektif tentang penguasaan kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat efektif pada siswa kelas ……………………………….. Tahun pelajaran 2010/2011
2.Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan memperoleh:
a.Deskripsi tentang penguasaan makna dasar dan makna tambahan kata-kata bersinonim
dalam menyusun kalimat efektif siswa kelas …………………………….Tahun pelajaran 2010/2011.
b.Deskripsi tentang penguasaan nilai rasa (makna emotif) kata-kata bersinonim dalam
menyusun kalimat efektif siswa kelas ………………………………….Tahun pelajaran 2010/2011.
c.Deskripsi tentang penguasaan distribusi kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat efektif siswa kelas ………………………………Tahun pelajaran 2010/2011

D. Kegunaan Penelitian
Diharapkan hasil penelitian inidapat membuahkan beberapa manfaat seperti berikut:
1.Bagi siswa, hasil penelitian ini siswa diharapkan mampu menguasai kata-kata
bersinonim dalam menyusun kalimat efektif, sehingga dapat menerapkan baik secara
lisan maupun tulisan.
2.Hasil penelitian ini bagi guru diharapkan dapat membuahkan atau memberikan
gambaran tentang penguasaan kata-kata bersinonim siswa kepada para guru, sehingga
mereka akan lebih mudah dan cermat dalam menentukan langkah-langkah berikutnya
demi peningkatan mutu pengajaran bahasa Indonesia di sekolah.
3.Hasil penelitian ini bagi kepala sekolah diharapkan dapat sebagai alat untuk
engadakan supervisi kepada para guru, sehingga akan membantu meningkatkan mutu
pendidikan.
4.Hasil penelitian ini bagi pengajaran diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiaran terhadap pembinaan dan pengembangan, terutama dalam bidang penguasaan
kata-kata bersinonim, yang ditempuh melalui jalur formal.

E.Hipotesis
1.Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan yang mungkin benar atau salah. Dia akan ditolak jika faktor-faktornya membenarkannya (Hadi, 1984: 63). Hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan seperti berikut:
a.Siswa kelas ………………………………….. Tahun pelajaran 2010/2011 mampu menguasai makna dasar
dan makna tambahan kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat efektif.
b.Siswa kelas ………………………………….. Tahun pelajaran 2010/2011 mampu menguasai nilai rasa
(makna emotif) kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat efektif.
c.Siswa kelas ……………………………………….. Tahun pelajaran 2010/2011 mampu menguasai istribusi
kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat efektif.

3.Kriteria Hipotesis
Penerimaan atau penolakan hipotesis ditentukan berdasarkan kriteria penelitian sebagai berikut:
a.Siswa kelas …………………………………… Tahun pelajaran 2010/2011 mampu menguasai makna dasar
dan makna tambahan kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat efektif, jika 60%
atau lebih siswa sampel dapat mengerjakan dengan benar dari sejumlah soal yang
disediakan.
b.Siswa kelas ………………………………. Tahun pelajaran 2010/2011 mampu menguasai makna nilai
rasa (makna emotif) kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat efektif, jika 60%
atau lebih siswa sampel dapat mengerjakan dengan benar dari sejumlah soal yang
disediakan.
c.Siswa kelas …………………………………. Tahun pelajaran 2010/2011 mampu menguasai distribusi
kata-kata bersinonim dalam menyusun kalimat efektif, jika 60% atau lebih siswa
sampel dapat mengerjakan dengan benar dari sejumlah soal yang disediakan.





Komponen Pembelajaran ARIAS
Seperti yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Pendidikan
Istilah “Pendidikan” merupakan kata yang tidak asing lagi untuk hampir setiap orang. Namun demikian, istilah ini lebih sering diartikan secara berbeda dari masa ke masa, termasuk oleh ahli yang berbeda pula. Seseorang mungkin menerjemahkan pendidikan sebagai sebuah proses latihan. Orang lain mungkin menerjemahkannya sebagai sejumlah pengalaman yang memungkinkan seseorang mendapatkan pemahaman dan pengetahuan baru yang lebih baik. Atau mungkin pula diterjemahkan secara sederhana sebagai pertumbuhan dan perkembangan.
John Dewey, seorang pendidik yang mempunyai andil besar dalam dunia pendidikan, mendefinisikan pendidikan sebagai “rekonstruksi aneka pengalaman dan peristiwa yang dialami dalam kehidupan individu sehingga segala sesuatu yang baru menjadi lebih terarah dan bermakna.” Definisi ini mengandung arti bahwa seseorang berpikir dan memberi makna pada pengalaman-pengalaman yang dilaluinya. Lebih jauh definisi tersebut mengandung arti bahwa pendidikan seseorang terdiri dari segala sesuatu yang ia lakukan dari mulai lahir sampai ia mati. Kata kuncinya adalah melakukan atau mengerjakan. Seseorang belajar dengan cara melakukan. Pendidikan dapat terjadi di perpustakaan, kelas, tempat bermain, lapangan olahraga, di perjalanan, atau di rumah.
Morse (1964) membedakan pengertian pendidikan ke dalam istilah pendidikan liberal (liberal education) dan pendidikan umum (general education). Ia mengatakan bahwa pendidikan liberal lebih berorientasi pada bidang studi dan menekankan penguasaan materinya (subject centered). Tujuan utamanya adalah penguasaan materi pembelajaran secara mendalam dan bahkan jika mungkin sampai tuntas. Pemikiran pendidikan seperti ini sudah tidak bisa lagi diterapkan dalam konteks pendidikan jasmani sekarang ini, dan oleh karena itu, pengertian pendidikan seperti ini dipandang bersifat tradisional.
Sementara itu, pendidikan modern lebih bersifat memperhatikan “pelakunya” dari pada bidang studi atau materinya. Tujuan utamanya adalah mencapai perkembangan individu secara menyeluruh sambil tetap memperhatikan perkembangan perilaku intelektual dan sosial individu sebagai produk dari belajarnya (child centered). Pendidikan pada jaman sekarang lebih banyak menekankan pada pengembangan individu secara total.
Kebanyakan sekolah sekarang ini menganut filsafat modern. Setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Pembelajaran secara individual pada dasarnya merupakan pembelajaran untuk semua siswa, termasuk program untuk siswa yang mempunyai kelambanan dalam perkembangannya, mengalami gangguan emosional, dan siswa yang memiliki cacat fisik atau mental. Setiap siswa diberi kebebasan untuk memilih materi pembelajaran yang diinginkannya dan memperoleh pelatihan dari bidang kejuruan yang berbeda-beda.
Dengan kata lain pendidikan pada jaman sekarang ini lebih menekankan pada pengembangan individu secara utuh. Pengajar tidak hanya memperhatikan perolehan akademisnya akan tetapi juga kemampuan bicara, koordinasi, dan keterampilan sosialnya. Para guru mencoba membantu setiap individu untuk belajar memecahkan masalah¬masalah baik emosional maupun fisikal yang dihadapi oleh setiap siswa.
B.Pengertian Bahasa
Dalam arti luas: Bahasa ialah alat yang dipakai manusia untuk memberi bentuk kepada sesuatu yang hidup di jiwanya, sehingga diketahui orang. Jadi disini termasuk juga mimiek (gerak muka), pantho mimiek (gerak anggota), dan menggambar.
Dalam arti umum : Bahasa ialah pernyataan perasaan jiwa dengan kata yang diisikan atau ditulis.
Apakah penguasaan bahasa? Mengerti apa yang dikatakan orang lain dan mempergunakan sendiri bahasa itu disebut menguasai bahasa. Orang yang telah menguasai sesuatu bahasa dengan baik dikatakan orang itu mempunyai penguasan bahasa yang baik.

C. Macam – macam Penguasaan Bahasa
Penguasaan bahasa itu ada dua macam, yaitu (1) penguasaan bahasa pasif : mengerti apa yang dikatakan orang lain kepadanya, dan (2) penguasaan bahasa aktif: dapat menyatakan isi hati sendiri kepada orang lain.
Dalam pengajaran bahasa di sekolah, penguasaan bahasa itu dapat dibagi seperti bagan berikut :

C. Perbendaharaan Bahasa dan Tujuan Pengajaran Bahasa
Tujuan terpenting ialah mebentuk pengertian; yang berarti: mengajarkan perkataan-perkataan baru dengan artinya sekaligus kepada anak – anak. Oleh karena itu, pada saat anak belajar membaca permulaan, jangan mulai dari menghafal huruf, tetapi mulai dari pola kalimat sederhana dan lembaga kata. Biasakan anak untuk mendengar, membaca, dan menuliskan yang mempunyai arti ganda.
Sekalian perkataan yang diketahui artinya oleh anak – anak dikatakan: perbendaharaan bahasa. Perbendaharan bahasa itu bertambah terus menerus pada anak-anak ataupun orang dewasa. Penambahan perbendaharaan bahasa ini telah dimulai sejak kelas I, pada saat anak telah dapat menuliskan apa yang telah didengarnya. Contoh: Mulai dari huruf a Abu, aku, anak, asik, aci, acar, api, dan seterusnya.
Dalam menambah perbendaharaan bahasa anak-anak ini, yang paling penting bukanlah isi dan arti, melainkan bentuk bahasa itu; meskipun sesungguhnya isi dan bentuk itu sukar diceraikan, karena bentuk itu menentukan isi. Jadi: Tujuan pengajaran bahasa ialah:
a.Belajar memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan teliti, jadi menangkap
bahasa: mendengarkan dan membaca
b.Menyatakan pikiran dan perasaan sendiri dengan teliti, atau mempergunakan bahasa:
berbicara/bercakap cakap dan menulis (dalam arti mengarang).
D.Model Pembelajran ARIAS
Model pembelajaran ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS. Model ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction), dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987: 2-9) sebagai jawaban pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar. Model pembelajaran ini dikembangkan berdasarkan teori nilai harapan (expectancy value theory) yang mengandung dua komponen yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen model pembelajaran itu adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319).
Model pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Namun demikian, pada model pembelajaran ini tidak ada evaluasi (assessment), padahal evaluasi merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi yang dilaksanakan tidak hanya pada akhir kegiatan pembelajaran tetapi perlu dilaksanakan selama proses kegiatan berlangsung. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang dicapai atau hasil belajar yang diperoleh siswa (DeCecco, 1968: 610). Evaluasi yang dilaksanakan selama proses pembelajaran menurut Saunders et al. seperti yang dikutip Beard dan Senior (1980: 72) dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Mengingat pentingnya evaluasi, maka model pembelajaran ini dimodifikasi dengan menambahkan komponen evaluasi pada model pembelajaran tersebut.
Dengan modifikasi tersebut, model pembelajaran yang digunakan mengandung lima komponen yaitu: attention (minat/perhatian); relevance (relevansi); confidence (percaya/yakin); satisfaction (kepuasan/bangga), dan assessment (evaluasi). Modifikasi juga dilakukan dengan penggantian nama confidence menjadi assurance, dan attention menjadi interest. Penggantian nama confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena kata assurance sinonim dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80). Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak hanya percaya bahwa siswa akan mampu dan berhasil, melainkan juga sangat penting menanamkan rasa percaya diri siswa bahwa mereka merasa mampu dan dapat berhasil. Demikian juga penggantian kata attention menjadi interest, karena pada kata interest (minat) sudah terkandung pengertian attention (perhatian). Dengan kata interest tidak hanya sekedar menarik minat/perhatian siswa pada awal kegiatan melainkan tetap memelihara minat/perhatian tersebut selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Untuk memperoleh akronim yang lebih baik dan lebih bermakna maka urutannya pun dimodifikasi menjadi assurance, relevance, interest, assessment dan satisfaction. Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan pembelajaran untuk menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan pembelajaran ada relevansinya dengan kehidupan siswa, berusaha menarik dan memelihara minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan rasa bangga pada siswa dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan mengambil huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS sebagai akronim. Oleh karena itu, model pembelajaran yang sudah dimodifikasi ini disebut model pembelajaran ARIAS.

E. Komponen Pembelajaran ARIAS
Seperti yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.
Komponen pertama model pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu berhubungan dengan sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang berhubungan dengan harapan untuk berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan Driscoll (1988: 70) seseorang yang memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung akan berhasil bagaimana pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang merasa yakin, percaya dapat berhasil mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka bertingkah laku untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sikap ini mempengaruhi kinerja aktual seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap ini menimbulkan perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau harapan akan berhasil mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai suatu keberhasilan (Petri, 1986: 218). Siswa yang memiliki sikap percaya diri memiliki penilaian positif tentang dirinya cenderung menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus (Prayitno, 1989: 42). Sikap percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu ditanamkan kepada siswa untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal guna mencapai keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri dan merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong untuk melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang lain. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap percaya diri adalah:
-Membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan pada siswa
gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Menghadirkan seseorang yang terkenal
dalam suatu bidang sebagai pembicara, memperlihatkan video tapes atau potret
seseorang yang telah berhasil (sebagai model), misalnya merupakan salah satu cara
menanamkan gambaran positif terhadap diri sendiri dan kepada siswa. Menurut Martin
dan Briggs (1986: 427-433) penggunaan model seseorang yang berhasil dapat mengubah
sikap dan tingkah laku individu mendapat dukungan luas dari para ahli. Menggunakan
seseorang sebagai model untuk menanamkan sikap percaya diri menurut Bandura eperti
dikutip Gagne dan Briggs (1979: 88) sudah dilakukan secara luas di sekolah-sekolah.
-Menggunakan suatu patokan, standar yang memungkinkan siswa dapat mencapai
keberhasilan (misalnya dengan mengatakan bahwa kamu tentu dapat menjawab
pertanyaan di bawah ini tanpa melihat buku).
-Memberi tugas yang sukar tetapi cukup realistis untuk diselesaikan/sesuai dengan
kemampuan siswa (misalnya memberi tugas kepada siswa dimulai dari yang mudah
berangsur sampai ke tugas yang sukar). Menyajikan materi secara bertahap sesuai
dengan urutan dan tingkat kesukarannya menurut Keller dan Dodge seperti dikutip
Reigeluth dan Curtis dalam Gagne (1987: 175-202) merupakan salah satu usaha
menanamkan rasa percaya diri pada siswa.
-Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap mandiri dalam belajar dan melatih
suatu keterampilan.

Komponen kedua model pembelajaran ARIAS, relevance, yaitu berhubungan dengan kehidupan siswa baik berupa pengalaman sekarang atau yang telah dimiliki maupun yang berhubungan dengan kebutuhan karir sekarang atau yang akan datang (Keller, 1987: 2-9). Siswa merasa kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki tujuan yang jelas. Sesuatu yang memiliki arah tujuan, dan sasaran yang jelas serta ada manfaat dan relevan dengan kehidupan akan mendorong individu untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan mengetahui kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan didapat. Mereka juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Gagne dan Driscoll, 1988: 140).
Dalam kegiatan pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi ini. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam pembelajaran adalah:
-Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai. Tujuan yang jelas akan memberikan
harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan
tersebut (DeCecco,1968: 162). Hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka.
-Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang
dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa mendatang.
-Menggunakan bahasa yang jelas atau contoh-contoh yang ada hubungannya dengan
pengalaman nyata atau nilai- nilai yang dimiliki siswa.
Bahasa yang jelas yaitu bahasa yang dimengerti oleh siswa. Pengalaman nyata atau pengalaman yang langsung dialami siswa dapat menjembataninya ke hal-hal baru. Pengalaman selain memberi keasyikan bagi siswa, juga diperlukan secara esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik tolak yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik, sekaligus merupakan usaha melihat lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan (Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai alternatif strategi dan media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan demikian dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media pembelajaran pada setiap kegiatan pembelajaran.

Komponen ketiga model pembelajaran ARIAS, interest, adalah yang berhubungan dengan minat/perhatian siswa. Menurut Woodruff seperti dikutip oleh Callahan (1966: 23) bahwa sesungguhnya belajar tidak terjadi tanpa ada minat/perhatian. Keller seperti dikutip Reigeluth (1987: 383-430) menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran minat/perhatian tidak hanya harus dibangkitkan melainkan juga harus dipelihara selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan berbagai bentuk dan memfokuskan pada minat/perhatian dalam kegiatan pembelajaran. Herndon (1987:11-14) menunjukkan bahwa adanya minat/perhatian siswa terhadap tugas yang diberikan dapat mendorong siswa melanjutkan tugasnya. Siswa akan kembali mengerjakan sesuatu yang menarik sesuai dengan minat/perhatian mereka. Membangkitkan dan memelihara minat/perhatian merupakan usaha menumbuhkan keingintahuan siswa yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.
Minat/perhatian merupakan alat yang sangat berguna dalam usaha mempengaruhi hasil belajar siswa. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk membangkitkan dan menjaga minat/perhatian siswa antara lain adalah:
-Menggunakan cerita, analogi, sesuatu yang baru, menampilkan sesuatu yang lain/aneh
yang berbeda dari biasa dalam pembelajaran.
-Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam
pembelajaran, misalnya para siswa diajak diskusi untuk memilih topik yang akan
dibicarakan, mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang perlu dipecahkan.
-Mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran misalnya menurut Lesser seperti
dikutip Gagne dan Driscoll (1988: 69) variasi dari serius ke humor, dari cepat ke
lambat, dari suara keras ke suara yang sedang, dan mengubah gaya mengajar.
-Mengadakan komunikasi nonverbal dalam kegiatan pembelajaran seperti demonstrasi
dan simulasi yang menurut Gagne dan Briggs (1979: 157) dapat dilakukan untuk
menarik minat/perhatian siswa.

Komponen keempat model pembelajaran ARIAS adalah assessment, yaitu yang berhubungan dengan evaluasi terhadap siswa. Evaluasi merupakan suatu bagian pokok dalam pembelajaran yang memberikan keuntungan bagi guru dan murid (Lefrancois, 1982: 336). Bagi guru menurut Deale seperti dikutip Lefrancois (1982: 336) evaluasi merupakan alat untuk mengetahui apakah yang telah diajarkan sudah dipahami oleh siswa; untuk memonitor kemajuan siswa sebagai individu maupun sebagai kelompok; untuk merekam apa yang telah siswa capai, dan untuk membantu siswa dalam belajar. Bagi siswa, evaluasi merupakan umpan balik tentang kelebihan dan kelemahan yang dimiliki, dapat mendorong belajar lebih baik dan meningkatkan motivasi berprestasi (Hopkins dan Antes, 1990:31). Evaluasi terhadap siswa dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang telah mereka capai. Apakah siswa telah memiliki kemampuan seperti yang dinyatakan dalam tujuan pembelajaran (Gagne dan Briggs, 1979:157). Evaluasi tidak hanya dilakukan oleh guru tetapi juga oleh siswa untuk mengevaluasi diri mereka sendiri (self assessment) atau evaluasi diri. Evaluasi diri dilakukan oleh siswa terhadap diri mereka sendiri, maupun terhadap teman mereka. Hal ini akan mendorong siswa untuk berusaha lebih baik lagi dari sebelumnya agar mencapai hasil yang maksimal. Mereka akan merasa malu kalau kelemahan dan kekurangan yang dimiliki diketahui oleh teman mereka sendiri. Evaluasi terhadap diri sendiri merupakan evaluasi yang mendukung proses belajar mengajar serta membantu siswa meningkatkan keberhasilannya (Soekamto, 1994). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Martin dan Briggs seperti dikutip Bohlin (1987: 11-14) bahwa evaluasi diri secara luas sangat membantu dalam pengembangan belajar atas inisiatif sendiri. Dengan demikian, evaluasi diri dapat mendorong siswa untuk meningkatkan apa yang ingin mereka capai. Ini juga sesuai dengan apa yang dikemukakan Morton dan Macbeth seperti dikutip Beard dan Senior (1980: 76) bahwa evaluasi diri dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena itu, untuk mempengaruhi hasil belajar siswa evaluasi perlu dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan evaluasi antara lain adalah:
-Mengadakan evaluasi dan memberi umpan balik terhadap kinerja siswa.
-Memberikan evaluasi yang obyektif dan adil serta segera menginformasikan hasil
evaluasi kepada siswa.
-Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap diri sendiri.
-Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap teman.
Komponen kelima model pembelajaran ARIAS adalah satisfaction yaitu yang berhubungan dengan rasa bangga, puas atas hasil yang dicapai. Dalam teori belajar satisfaction adalah reinforcement (penguatan). Siswa yang telah berhasil mengerjakan atau mencapai sesuatu merasa bangga/puas atas keberhasilan tersebut. Keberhasilan dan kebanggaan itu menjadi penguat bagi siswa tersebut untuk mencapai keberhasilan berikutnya (Gagne dan Driscoll, 1988: 70). Reinforcement atau penguatan yang dapat memberikan rasa bangga dan puas pada siswa adalah penting dan perlu dalam kegiatan pembelajaran (Hilgard dan Bower, 1975:561). Menurut Keller berdasarkan teori kebanggaan, rasa puas dapat timbul dari dalam diri individu sendiri yang disebut kebanggaan intrinsik di mana individu merasa puas dan bangga telah berhasil mengerjakan, mencapai atau mendapat sesuatu. Kebanggaan dan rasa puas ini juga dapat timbul karena pengaruh dari luar individu, yaitu dari orang lain atau lingkungan yang disebut kebanggaan ekstrinsik (Keller dan Kopp, 1987: 2-9). Seseorang merasa bangga dan puas karena apa yang dikerjakan dan dihasilkan mendapat penghargaan baik bersifat verbal maupun nonverbal dari orang lain atau lingkungan. Memberikan penghargaan (reward) menurut Thorndike seperti dikutip oleh Gagne dan Briggs (1979: merupakan suatu penguatan (reinforcement) dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, memberikan penghargaan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi hasil belajar siswa (Hilgard dan Bower, 1975: 561). Untuk itu, rasa bangga dan puas perlu ditanamkan dan dijaga dalam diri siswa. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain :
- Memberi penguatan (reinforcement), penghargaan yang pantas baik secara verbal maupun non-verbal kepada siswa yang telah menampilkan keberhasilannya. Ucapan guru : "Bagus, kamu telah mengerjakannya dengan baik sekali!". Menganggukkan kepala sambil tersenyum sebagai tanda setuju atas jawaban siswa terhadap suatu pertanyaan, merupakan suatu bentuk penguatan bagi siswa yang telah berhasil melakukan suatu kegiatan. Ucapan yang tulus dan/atau senyuman guru yang simpatik menimbulkan rasa bangga pada siswa dan ini akan mendorongnya untuk melakukan kegiatan lebih baik lagi, dan memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya.
-Memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan/keterampilan yang baru
diperoleh dalam situasi nyata atau simulasi.
-Memperlihatkan perhatian yang besar kepada siswa, sehingga mereka merasa dikenal
dan dihargai oleh para guru.
-Memberi kesempatan kepada siswa untuk membantu teman mereka yang mengalami
kesulitan/memerlukan bantuan.

E. Penggunaan Model Pembelajaran ARIAS
Penggunaan model pembelajaran ARIAS perlu dilakukan sejak awal, sebelum guru melakukan kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini digunakan sejak guru atau perancang merancang kegiatan pembelajaran dalam bentuk satuan pelajaran misalnya. Satuan pelajaran sebagai pegangan (pedoman) guru kelas dan satuan pelajaran sebagai bahan/materi bagi siswa. Satuan pelajaran sebagai pegangan bagi guru disusun sedemikian rupa, sehingga satuan pelajaran tersebut sudah mengandung komponen-komponen ARIAS. Artinya, dalam satuan pelajaran itu sudah tergambarkan usaha/kegiatan yang akan dilakukan untuk menanamkan rasa percaya diri pada siswa, mengadakan kegiatan yang relevan, membangkitkan minat/perhatian siswa, melakukan evaluasi dan menumbuhkan rasa dihargai/bangga pada siswa. Guru atau pengembang sudah merancang urutan semua kegiatan yang akan dilakukan, strategi atau metode pembelajaran yang akan digunakan, media pembelajaran apa yang akan dipakai, perlengkapan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana cara penilaian akan dilaksanakan. Meskipun demikian pelaksanaan kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan situasi, kondisi dan lingkungan siswa. Demikian juga halnya dengan satuan pelajaran sebagai bahan/materi untuk siswa. Bahan/materi tersebut harus disusun berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Bahasa, kosa kata, kalimat, gambar atau ilustrasi, pada bahan/materi dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa, bahwa mereka mampu, dan apa yang dipelajari ada relevansi dengan kehidupan mereka. Bentuk, susunan dan isi bahan/materi dapat membangkitkan minat/perhatian siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengadakan evaluasi diri dan siswa merasa dihargai yang dapat menimbulkan rasa bangga pada mereka. Guru dan/atau pengembang agar menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti, kata-kata yang jelas dan kalimat yang sederhana tidak berbelit-belit sehingga maksudnya dapat dengan mudah ditangkap dan dicerna siswa. Bahan/materi agar dilengkapi dengan gambar yang jelas dan menarik dalam jumlah yang cukup. Gambar dapat menimbulkan berbagai macam khayalan/fantasi dan dapat membantu siswa lebih mudah memahami bahan/materi yang sedang dipelajari.
Siswa dapat membayangkan/mengkhayalkan apa saja, bahkan dapat membayangkan dirinya sebagai apa saja (McClelland, 1987: 29). Bahan/materi disusun sesuai urutan dan tahap kesukarannya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan keingintahuan dan memungkinkan siswa dapat mengadakan evaluasi sendiri.


Metode Pembelajaran Terbimbing

Posted by Wahyudi On 09.17 0 komentar

Materi ujian yang bersifat teoritis dapat menimbulkan motivasi guru bahasa mengajarkan materi mengarang hanya untuk dapat menjawab soal-soal ujian, sementara aspek keterampilan diabaikan. Sedangkan dengan kelas yang besar konsekuensi biasanya guru enggan memberikan pelajaran mengarang, karena ia harus memeriksa karangan murid-muridnya yang berjumlah mencapai empat puluh sampai lima puluh lembar, kadang hal itu masih harus berhadapan dengan tulisan-tulisan siswa yang notabene sulit dibaca



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sekolah kita pada umumnya agak mengabaikan pelajaran mengarang. Ada beberapa faktor penyebabnya yaitu, (1) sistem ujian yang biasanya menjabarkan soal-soal yang sebagian besar besifat teoritis, (2) kelas yang terlalu besar dengan jumlah murid berkisar antara empat puluh sampai lima puluh orang.
Materi ujian yang bersifat teoritis dapat menimbulkan motivasi guru bahasa mengajarkan materi mengarang hanya untuk dapat menjawab soal-soal ujian, sementara aspek keterampilan diabaikan. Sedangkan dengan kelas yang besar konsekuensi biasanya guru enggan memberikan pelajaran mengarang, karena ia harus memeriksa karangan murid-muridnya yang berjumlah mencapai empat puluh sampai lima puluh lembar, kadang hal itu masih harus berhadapan dengan tulisan-tulisan siswa yang notabene sulit dibaca. Belum lagi ia harus mengajar lebih dari satu kelas atau mengajar di sekolah lain, berarti yang harus diperiksa empat puluh kali sekian lembar karangan. Oleh karena itu, tidak jarang guru yang menyuruh muridnya mengarang hanya sebulah sekali atau bahkan sampai berbulan-bulan.
Disamping hal-hal tersebut di atas ada asumsi sebagian guru yang menganggap tugas mengarang yang diberikan kepada siswa terlalu memberatkan atau tugas itu terlalu berat untuk siswa, sehingga ia merasa kasihan memberikan beban berat tersebut kepada siswanya. Ia terlalu pesimis dengan kemampuan muridnya. Asumsi tersebut tidak bisa dibenarkan, karena justru dengan seringnya latihan-latihan yang diberikan akan membuat siswa terbiasa dengan hal itu. Kita tahu bahkan ketermpilan berbahasa akan dapat dicapai dengan baik bila dibiasakan. Kalau guru selalu dihantui oleh perasaan ini dan itu, bagaimana muridnya akan terbiasa menggunakan bahasa dengan sebaik-baiknya?
Berdasarkan paparan tersebut diatas maka peneliti ingin mencoba melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan Prestasi Belajar Mengarang Bahasa Indonesia dengan Metode Pembelajaran Terbimbing Pada Siswa Kelas…………”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:
1.Seberapa jauh peningkatan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran bahasa
Indonesia dalam bidang karang-mengarang dengan diterapkannya pembelajaran
terbimbing pada siswa kelas?
2.Bagaimanakah pengaruh model pembelajaran terbimbing terhadap motivasi belajar
bahasa Indoensia dalai bidang karang-mengarang siswa kelas…………………………….?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1.Mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkannya pembelajaran
terbimbing pada siswa kelas …………………………..
2.Mengetahui pengaruh motivasi belajar siswa setelah diterapkan pembelajaran
terbimbing pada siswa kelas ……………………………………….

D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan pada permasalahan dalam penelitian tindakan yang berjudul ……………………………. yang dilakukan oleh peneliti, dapat dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut:
"Jika Proses Belajar Mengajar Siswa Kelas ………………. menggunakan metode………………. dalam menyampaikan materi pembelajaran, maka dimungkinkan minat belajar dan hasil belajar siswa kelas …………………… akan lebih baik dibandingkan dengan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru sebelumnya".

E.Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi:
1.Sekolah sebagai penentu kebijakan dalam upaya meningkatkan prestasi elajarsiswa
khususnya pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
2.Guru, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan metode pembelajaran yang dapat
memberikan manfaat bagi siswa.

Melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran dapat dikaji, ditingkatkan dan dituntaskan, sehingga proses pendidikan dan pembelajaran yang inovatif dan hasil belajar yang lebih baik, dapat diwujudkan secara sistematis. Upaya PTK diharapkan dapat menciptakan sebuah budaya belajar ( learning culture) di kalangan dosen di LPTK, dan guru-siswa di sekolah. PTK menawarkan peluang sebagai strategi pengembangan kinerja, sebab pendekatan penelitian ini menempatkan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya sebagai peneliti, sebagai agen perubahan yang pola kerjanya bersifat kolaboratif.

Penerapan Konstruktivistik

Posted by Wahyudi On 04.24 0 komentar

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan salah satu cara yang ampuh untuk perbaikan pembelajaran. Seperti dalam penelitian ini, PTK diarahkan pada penerapan pendekatan konstruktivistik. Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik ini dimaksudkan untuk mengubah kebiasaan guru yang terbiasa mengajar terpusat pada guru menjadi pembelajaran yang terpusat pada siswa.


Wahyudi.Pur1., 2008, Penerapan Pendekatan Konstruktivistik untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Menulis Paragraf Eksposisi pada Kelas XII IPA SMAN 1 Karangjati Tahun 2008

Kata-kata kunci : Pendekatan Konstruktivistik, Kemampuan Menulis, Paragraf Eksposisi

ABSTRAK
Permasalahan pendidikan siswa selalu muncul seiring dengan perkembangan anak dan situasi serta kondisi lingkungan yang ada. Di samping itu masih banyak cara pendekatan konvensional dilaksanakan dalam pembelajaran di SMA. Pendekatan ini dianggap sudah tidak efektif serta menimbulkan kejenuhan di dalam kelas. Karena itu guru dituntut untuk selalu dan terus berupaya memperbaiki pengelolaan pembelajaran.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan salah satu cara yang ampuh untuk perbaikan pembelajaran. Seperti dalam penelitian ini, PTK diarahkan pada penerapan pendekatan konstruktivistik. Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik ini dimaksudkan untuk mengubah kebiasaan guru yang terbiasa mengajar terpusat pada guru menjadi pembelajaran yang terpusat pada siswa.
Tujuan pembelajaran dengan pendekatan ini adalah untuk membangkitkan siswa belajar menemukan sendiri, kerja sama dan mengomunikasikan hasil belajarnya, serta untuk meningkatkan keaktifan siswa. Dan hasil penelitian penerapan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran terbukti dapat meningkatkan kemampuan dan prestasi siswa khususnya menulis paragraf, aktivitas, minat, dan kerja sama antarsiswa dalam pembelajaran semakin muncul.



PENDAHULUAN
Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Kegiatan menulis ini tidak datang dengan sendirinya (otomatis), melainkan harus melalui latihan dan praktek yang banyak dan teratur. (Tarigan, 1982 : 3)
Dalam kehidupan modern ini, keterampilan menulis jelas sangat dibutuhkan. Tidaklah berlebihan jika keterampilan menulis ini menjadi salah satu empat keterampilan berbahasa yang ditekankan dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Kalau kita mengacu pada soal ujian nasional, soal yang berkaitan dengan menulis menempati 30 persen dari keseluruhan soal ujian nasional. Umumnya, soal menulis ini dituangkan dalam bentuk paragraf dan surat. Pertanyaan yang diajukan umumnya berkisar pada pikiran utama, pikiran penjelas, fakta dan opini, bentuk-bentuk paragraf berdasarkan letak pikiran utama, jenis paragraf berdasarkan pola pengembangannya, titik pandang, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan paragraf, kalimat pembuka dan penutup surat, isi surat, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan surat.
Mengacu hal-hal di atas, menulis perlu sekali mendapatkan penekanan yang lebih dari para guru bahasa Indonesia di samping keterampilan berbahasa yang lain. Alasannya antara lain ; banyak soal ujian nasional yang berkaitan dengan menulis, kemampuan menulis siswa khususnya siswa di SMAN 1 Karangjati kabupaten Ngawi cukup rendah.
Berdasarkan alasan yang kedua, yaitu kemampuan menulis siswa SMAN 1 Karangjati cukup rendah, bukan hanya simpulan tanpa alasan. Simpulan tersebut muncul berdasarkan alasan sebagai berikut; 1). masih banyak siswa yang kurang mampu menghubungkan kalimat yang satu dengan yang lain sehingga tercipta kesatuan dan keterpaduan antarkalimat dalam paragraf, 2) masih banyak siswa yang kurang mampu mengembangkan ide pokok menjadi sebuah paragraf , 3) kreativitas siswa dalam memvariasikan penggunaan kata yang digunakan untuk merangkaikan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain masih kurang, sehingga timbul kejenuhan bagi pembaca, 4) guru sangat kurang dalam melatih siswa menulis.
Hal-hal di atas perlu mendapatkan perhatian yang serius dari guru. Bila hal tersebut dibiarkan saja, akan berakibat siswa tidak mampu mengomunikasikan ide kepada orang lain. Salah satu ciri orang yang memiliki kemampuan berbahasa yang tinggi adalah orang yang mampu mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, memberitahukan , dan mempengaruhi. Maksud dan tujuan seperti itu akan dapat dicapai dengan baik oleh orang-orang yang dapat menyusun pikirannya dan mengutarakannya dengan jelas. Kejelasan ini bergantung pada kemampuan seseorang menggunakan pikiran, organisasi pemakaian kata-kata dan struktur kalimat. (Morsey dalam Tarigan, 1982 : 4).
Untuk meningkatkan kemampuan siswa menulis secara kritis dan kreatif, salah satunya guru harus mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif. Suasana yang kondusif ini akan tercipta, bila guru mampu memilih dan menggunakan metode pembelajaran. Kemungkinan siswa malas atau tidak mampu menulis itu disebabkan oleh guru kurang pandai memilih dan menggunakan metode sehingga siswa bosan mengikuti pembelajaran.
Di samping itu, guru perlu membangkitkan motivasi siswa untuk belajar mandiri dan mampu bekerja sama dengan siswa yang lain sehingga siswa dapat membangun pengetahuan yang dimilikinya. Pembelajaran mandiri memberikan kesempatan yang luar biasa kepada siswa untuk mempertajam kesadaran mereka akan lingkungan mereka. Pembelajaran mandiri juga memungkinkan siswa untuk membuat pilihan-pilihan positif tentang cara mereka akan mengatasi kegelisahan dan kekacauan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pola ini, memungkinkan siswa nertindak berdasarkan inisiatif mereka untuk membentuk lingkungan. (Johnson, 2007 : 179).
Untuk menciptakan kemandirian pada diri siswa, guru harus banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan atau mengalami sendiri belajarnya. Maksudnya, siswa mendapatkan kesempatan yang luas membangun sendiri belajarnya. Hal ini sesuai dengan prinsip konstruktivistik dalam contextual teaching and learning (CTL). Misal, dalam pembelajaran menulis, guru banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk menulis. Dengan demikian siswa lebih banyak melakukan kegiatan menulis sehingga siswa akan menjadi lebih terampil menulis khususnya menulis paragraf eksposisi.
Keuntungan yang diperoleh bila siswa mampu menulis paragraf dengan baik antara lain : siswa mampu mengomunikasikan ide kepada orang lain dengan baik, siswa mampu melakukan tindakan dan mengambil keputusan secara mandiri secara baik yang berguna bagi dirinya dan orang lain, dalam tujuan khusus siswa mampu menjawab soal ujian nasional dengan benar, secara khusus guru dapat mengajak siswa untuk menciptakan tulisan yang kritis dan kreatif dengan mudah.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan penerapan pendekatan konstruktivistik, guru dapat mengajak siswa belajar sesuai dengan konteksnya. Bila siswa dihadapkan atau dihubungkan dengan konteksnya (lingkungan dan budaya), siswa akan semakin cepat untuk memahami materi pembelajaran. Kemudahan ini disebabkan oleh siswa sudah mengenal atau mengalami situasi dan kondisinya.
Pada sistem pembelajaran dengan penerapan pendekatan konstruktivistik, kemandirian siswa akan bangkit karena siswa dilibatkan belajar secara langsung dan mengalami sendiri seperti kemampuan bertanya, menemukan sesuatu. Hal ini akan dapat dibangkitkan melalui belajar dalam masyarakatnya (learning community) dan belajar lewat model (modeling).
Teori konstruktivistik menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya bila aturan-aturan tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Slavin dalam Trianto, 2007 : 13).
Prinsip konstruktivistik adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan merapkan ide-ide mereka. Guru berusaha menyadarkan siswa agar belajar menggunakan strategi mereka sendiri. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat tangga tersebut (Trianto, 2007 : 13).
Tingkah laku selalu didasarkan pada makna sebagai hasil persepsi terhadap kehidupan para pelakunya. Hal-hal yang dilakukan sesorang dan sebab-sebab seseorang itu melakukan berbagai hal selalu didasarkan pada batasan-batasan menurut pendapat sendiri, dan dipengaruhi oleh latar belakang kebiasaan dan budayanya yang khusus (Spradley dalam Sutopo, 2006 : 224).
Ada anggapan yang menyatakan bahwa belajar selalu dikaitkan dengan kenyataan yang ada dalam hubungan-hubungan yang melihat suatu kesatuan melebihi jumlah dari bagian-bagiannya. Dengan demikian dalam pembelajaran dan pengajaran perlu memperhatikan konteksnya. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual ini merupakan sebuah sistem mengajar yang didasarkan pada pikiran bahwa makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberikan makna pada isi. Semakin banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin bermaknalah isinya bagi mereka. Maksudnya, semakin mampu para siswa mengaitkan pelajaran-pelajaran akademisnya dengan konteks ini, semakin banyak makna yang akan mereka dapatkan dari pelajaran-pelajaran tersebut, sehingga mereka mendapatkan penguasaan dan keterampilan yang bermakna. Dengan demikian tugas guru sebagian besar adalah menyediakan konteks bagi anak didiknya (Johnson, 2007 : 35).
Pembelajaran dan pengajaran berdasarkan konteksnya melibatkan para siswa belajar secara langsung dan mandiri serta mampu bekerja sama dengan yang lain. Maksudnya, siswa secara langsung mengalami sendiri proses belajar itu dan menemukan sesuatu secara mandiri maupun secara bekerja sama dengan siswa yang lain. Dengan bekerja sama, para siswa terbantu dalam menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Selain itu bekerja sama akan membantu mereka mengetahui bahwa saling mendengarkan akan menuntun pada keberhasilan (Johnson, 2007 : 73).


Pemilihan dan pengembangan strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran hakekatnya berpusat pada peserta didik (student centered), agar dapat melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam pembelajaran. Pembelajaran harus menekankan pada praktek, dengan pendayagunaan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar



Menurut Gunter (1999) Think Pair Share adalah suatu teknik sederhana dengan keuntungan besar. TPS dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengingat suatu informasi. Seorang siswa belajar dari siswa lain dan saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum disampaikan di depan kelas. Selain itu dapat memperbaiki rasa percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kelas. Bila dibandingkan dengan metode lama (ceramah) dimana guru mengungkapkan suatu pertanyaan dan seorang siswa memberikan jawaban, maka TPS ini lebih memberikan kesempatan kepada siswa dalam menanggapi permasalahan yang diajukan oleh guru.
Menurut Susilo (2005:3) metode Think Pair Share mempunyai beberapa keuntungan keuntungan di bawah ini:
1. Think Pair Share membantu menstrukturkan diskus. Siswa mengikuti proses yang telah tertentu sehingga membatasi kesempatan pikirannya melantur dan tingkah lakunya menyimpang karena mereka harus berfikir dan melaporkan hasil pemikirannya ke mitranya.
2. Think Pair Share meningkatkan partisipasi siswa dan meningkatkan banyaknya informasi yang dapat diingat siswa (Gunter, Ester, dan Schwab, 1999). Dengan Think Pair Share, siswa belajar dari satu sama lain dan berupaya bertukar ide dalam konteks yang tidak mendebarkan hati sebelum mengemukakan idenya kekelompok yang lebih besar. Rasa percaya diri siswa meningkat dan semua siswa mempunyai kesempatan berpartisipasi di kelas karena sudah memikirkan jawaban atas pertanyaan guru, tidak seperti biasanya hanya siswa tertentu saja yang menjawab.
3. Think Pair Share meningkatkan lamanya ”time of task” dalam kelas dan kualitas kontribusi siswa dalam diskusi kelas.
4. Siswa dapat mengembangkan kecakapan hidup sosial mereka. Dalam Think Pair Share mereka juga merasakan, a) saling ketergantungan positif karena mereka belajar dari satu sama lain, b) menjunjung akuntabilitas individu karena mau tidak mau mereka harus saling berbagi ide dan wakil kelompok harus berbagi pasangannya ke pasangan lain atau seluruh kelas, c) punya kesempatan yang sama untuk berpartisipsi karena seyogyanya tidak boleh ada siswa yang mencoba mendominasi, dan d) interaksi

Menurut Lyman, dkk, (dalam Nurhadi,dkk, 2004:67) metode Think Pair Share mempunyai tahap-tahap yang akan dijelaskan berikut ini:
1. Tahap 1-Berfikir (Thinking)
Guru mengajukan pertanyaan, masalah atau isu yang terkait dengan pelajaran dan siswa diberi kesempatan untuk berfikir sendiri mengenai jawaban atau isu tersebut. Hendaknya pertanyaan tersebut berupa pertanyaan terbuka yang memungkinkan dapat dijawab dengan berbagai macam jawaban. Menurut Susilo (2005:4) pada tahap ini guru memberi tanda agar siswa mulai memikirkan pertanyaan atau masalah yang diberikan guru tadi dalam waktu yang tertentu. Lamanya waktu ditetapkan oleh guru berdasarkan pemahaman guru terhadap siswanya, sifat pertanyaannya, dan skedul pembelajaran. Gunter, dkk, (dalam Susilo 2005:4) menyarankan agar siswa menulis jawaban atau pemecahan masalah hasil pemikirannya.
2. Tahap 2-Berpasangan (Pairing)
Selanjutnya guru meminta kepada siswanya untuk berpasangan dengan teman sebangku atau yang lain untuk mendiskusikan mengenai apa yang telah dipikirkan. Interaksi selama periode ini dapat menghasilkan jawaban bersama jika suatu pertanyaan telah diajukan atau penyampaian ide bersama. Biasanya guru mengizinkan tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan. Menurut Susilo (2005:4) seringkali proses ini dapat diperpanjang satu langkah lebih lanjut yaitu dengan meminta pasangan siswa bergabung dengan pasangan lainnya sehingga membentuk kelompok baru yang terdiri dari empat orang lebih lanjut. Mereka menggabungkan ide mereka berempat sebelum membagikannya ke kelompok lain yang lebih besar. Tahap pasangan ganda ini juga mengalakkan terjadinya lebih banyak pembicaraan di antara siswa mengenai isu-isu yang dipermasalahkan dalam pertanyaan.
3. Tahap 3 –Berbagi (Sharing)
Pada langkah akhir ini guru meminta pasangan-pasangan tersebut untuk berbagi atau bekerja sama dengan kelas secara keseluruhan mengenai apa yang telah mereka bicarakan. Menurut Susilo (2005:5) pada tahap ini siswa secara individual mewakili kelompok atau berdua/berempat mereka maju bersama untuk melaporkan hasil diskusinya ke seluruh kelas. Kalau perlu, mereka dapat pula menyusun poster atau transparan unk menyajikan jawaban mereka, terutama kalau dalam bentuk gambar atau diagram. Pada langkah ini akan menjadi efektif jika guru berkeliling kelas dari pasangan yang satu ke pasangan yang lain, sehingga seperempat atau separuh dari pasangan-pasangan tersebut memperoleh kesempatan untuk melapor.

Terdapat empat langkah atau tahapan dengan lamanya waktu setiap tahapannya ditetapkan oleh guru. Prosedur Think Pair Share adalah sebagai tahapannya ditetapkan oleh guru. Prosedur Think Pair Share adalah adalah sebagai berikut Gunter, Estes dan Schwab (dalam Susilo, 2005):

Tahap 1 guru mengemukakan pertanyaan, proses TPS dimulai pada saat guru mengemukakan suatu pertanyaan yang menggalakkan berfikir ke seluruh kelas. Pertanyaan ini hendaknya berupa pertanyaan terbuka yang mungkin bisa dijawab dengan berbagai macam jawaban. Misalnya dalam Kewirausahaan mengenai faktor-faktor dalam menentukan keputusan dilemparkan kepada siswa untuk ditanggapi, maka akan muncul berbagai argumen dari siswa atas permasalahan seperti ini.

Tahap 2 siswa berfikir secara individu, guru memberi tanda agar siswa mulai memikirkan pertanyaan atau masalah yang diberikan guru tadi dalam waktu yang tertentu. Lamanya waktu ditetapkan oleh guru berdasarkan pemahaman guru terhadap siswanya, sifat pertanyaannya dan skedul pembelajaran. Menurut Jones (dalam Susilo,2005) waktu berfikir ini bahkan boleh tidak sampai satu menit karena hanya memikirkan jawaban atas pertanyaan. Tahad kedua ini merupakan prosedur yang secara otomatis menyediakan “waktu tunggu” di dalam percakapan dalam kelas.

Tahap 3 setiap siswa mendiskusikan jawabannya dengan seorang mitra. Sekali lagi guru memberi tanda agar mulai berpasangan dengan siswa lainnya untuk mendiskusikan dan mencapai kesepakatan atas jawaban terhadap pertanyaan tadi. Menurut Jones (dalam Susilo) mereka membandingkan hasil pemikiran ataupun jawaban yang mereka pikir paling baik, paling meyakinkan, atau paling unik. Seringkali proses ini dapat diperpanjang satu langkah lebih lanjut yaitu dengan meminta pasangan siswa bergabung dengan pasangan lainnya sehingga membentuk kelompok baru yang terdiri dari empat orang, lebih lanjut mereka menggabungkan ide mereka berempat sebelum membandingkannya ke kelompok lain yang lebih besar.

Tahap 4 siswa berbagi jawaban dengan seluruh kelas, pada tahap ini siswa secara individu mewakili kelompok atau berdua atau berempat, mereka maju bersama untuk melaporkan hasil diskusinya ke seluruh kelas. Pada tahap terakhir Think Pair Share ini siswa seluruh kelas akan memperoleh keuntungan dalam bentuk mendengarkan berbagai ungkapan mengenai konsep yang sama dinyatakan dengan cara penyampaian jawaban yang unik untuk pertanyaan yang diajukan oleh guru. Lebih lanjut konsep-konsep yang digunakan dalam jawaban siswa menggunakan bahasa siswa yang tentu lebih komunikatif dibanding bahasa buku teks atau bahasa guru. Jadi kalau siswa dapat menggunakan hasil pemikiran bahwa tema, ada banyak cara belajar yang dapat ikut berpengaruh dalam membantu siswa memahami ide dibalik jawaban tersebut.

Laura (dalam Risnawati, 2005:22) mengemukakan beberapa keuntungan TPS adalah sebagai berikut:
a.TPS mudah diterapkan diberbagai jenjang pendidikan dan dalam setiap kesempatan.
b.Menyediakan waktu berfikir untuk meningkatkan kualitas respon siswa.
c.Siswa menjadi lebih aktif dalam berfikir mengenai konsep dalam mata pelajaran.
d.Siswa lebih memahami tentang konsep topik pelajaran selama diskusi.
e.Siswa dapat belajar dari siswa yang lain.
f.Setiap siswa dalam kelompoknya mempunyai kesempatan untuk berbagai/menyampaikan idenya.

Aplikasi waktu dalam menggunakan pembelajaran model TPS adalah:
a.Dapat digunakan diawal pelajaran sebelum mempelajari suatu materi (mengetahui kemampuan awal siswa).
b.Selama guru memperagakan, bereksperimen, atau menjelaskan.
c.Setiap saat untuk mengecek pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan.

140Plus Active Learning Method

Posted by Wahyudi On 19.47 0 komentar

Anda seorang Guru? Inilah E-book yang mampu memeberikan pandangan dalam mendidik siswa secara aktif, kreatif, dan inovatif. Di sini Anda akan menemui 140 metode dalam mengajar. Setiap metode akan dibahas secara ringkas dan mudah dipahami, dengan begitu Anda tidak akan sulit dalam mempelajarinya. Pembahasannya dibagi menjadi 3, uraian tentang metode tersebut, prosedur, dan variasi metode.



Minat siswa yang sulit kini dapat Anda bendung dengan metode pembelajaran yang menarik dan mengasyikkan. Dalam E-book ini anda juga mendapatkan variasi metode yang mampu meningkatkan kualitas mengajar Anda. Cobalah dan Anda tidak akan kecewa akan hal itu. Bayangkan saja, 140 Plus metode belajar mengajar sudah ada di tangan anda dan mengikat belajar mengajar Anda. Anda akan berubah menjadi Pengajar yang berkualitas dan memiliki rating yang tinggi dan juga digemari oleh murid dan semuanya.

Silahkan dicoba, Produk Terbatas.