Komponen Pembelajaran ARIAS
Seperti yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Pendidikan
Istilah “Pendidikan” merupakan kata yang tidak asing lagi untuk hampir setiap orang. Namun demikian, istilah ini lebih sering diartikan secara berbeda dari masa ke masa, termasuk oleh ahli yang berbeda pula. Seseorang mungkin menerjemahkan pendidikan sebagai sebuah proses latihan. Orang lain mungkin menerjemahkannya sebagai sejumlah pengalaman yang memungkinkan seseorang mendapatkan pemahaman dan pengetahuan baru yang lebih baik. Atau mungkin pula diterjemahkan secara sederhana sebagai pertumbuhan dan perkembangan.
John Dewey, seorang pendidik yang mempunyai andil besar dalam dunia pendidikan, mendefinisikan pendidikan sebagai “rekonstruksi aneka pengalaman dan peristiwa yang dialami dalam kehidupan individu sehingga segala sesuatu yang baru menjadi lebih terarah dan bermakna.” Definisi ini mengandung arti bahwa seseorang berpikir dan memberi makna pada pengalaman-pengalaman yang dilaluinya. Lebih jauh definisi tersebut mengandung arti bahwa pendidikan seseorang terdiri dari segala sesuatu yang ia lakukan dari mulai lahir sampai ia mati. Kata kuncinya adalah melakukan atau mengerjakan. Seseorang belajar dengan cara melakukan. Pendidikan dapat terjadi di perpustakaan, kelas, tempat bermain, lapangan olahraga, di perjalanan, atau di rumah.
Morse (1964) membedakan pengertian pendidikan ke dalam istilah pendidikan liberal (liberal education) dan pendidikan umum (general education). Ia mengatakan bahwa pendidikan liberal lebih berorientasi pada bidang studi dan menekankan penguasaan materinya (subject centered). Tujuan utamanya adalah penguasaan materi pembelajaran secara mendalam dan bahkan jika mungkin sampai tuntas. Pemikiran pendidikan seperti ini sudah tidak bisa lagi diterapkan dalam konteks pendidikan jasmani sekarang ini, dan oleh karena itu, pengertian pendidikan seperti ini dipandang bersifat tradisional.
Sementara itu, pendidikan modern lebih bersifat memperhatikan “pelakunya” dari pada bidang studi atau materinya. Tujuan utamanya adalah mencapai perkembangan individu secara menyeluruh sambil tetap memperhatikan perkembangan perilaku intelektual dan sosial individu sebagai produk dari belajarnya (child centered). Pendidikan pada jaman sekarang lebih banyak menekankan pada pengembangan individu secara total.
Kebanyakan sekolah sekarang ini menganut filsafat modern. Setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Pembelajaran secara individual pada dasarnya merupakan pembelajaran untuk semua siswa, termasuk program untuk siswa yang mempunyai kelambanan dalam perkembangannya, mengalami gangguan emosional, dan siswa yang memiliki cacat fisik atau mental. Setiap siswa diberi kebebasan untuk memilih materi pembelajaran yang diinginkannya dan memperoleh pelatihan dari bidang kejuruan yang berbeda-beda.
Dengan kata lain pendidikan pada jaman sekarang ini lebih menekankan pada pengembangan individu secara utuh. Pengajar tidak hanya memperhatikan perolehan akademisnya akan tetapi juga kemampuan bicara, koordinasi, dan keterampilan sosialnya. Para guru mencoba membantu setiap individu untuk belajar memecahkan masalah¬masalah baik emosional maupun fisikal yang dihadapi oleh setiap siswa.
B.Pengertian Bahasa
Dalam arti luas: Bahasa ialah alat yang dipakai manusia untuk memberi bentuk kepada sesuatu yang hidup di jiwanya, sehingga diketahui orang. Jadi disini termasuk juga mimiek (gerak muka), pantho mimiek (gerak anggota), dan menggambar.
Dalam arti umum : Bahasa ialah pernyataan perasaan jiwa dengan kata yang diisikan atau ditulis.
Apakah penguasaan bahasa? Mengerti apa yang dikatakan orang lain dan mempergunakan sendiri bahasa itu disebut menguasai bahasa. Orang yang telah menguasai sesuatu bahasa dengan baik dikatakan orang itu mempunyai penguasan bahasa yang baik.
C. Macam – macam Penguasaan Bahasa
Penguasaan bahasa itu ada dua macam, yaitu (1) penguasaan bahasa pasif : mengerti apa yang dikatakan orang lain kepadanya, dan (2) penguasaan bahasa aktif: dapat menyatakan isi hati sendiri kepada orang lain.
Dalam pengajaran bahasa di sekolah, penguasaan bahasa itu dapat dibagi seperti bagan berikut :
C. Perbendaharaan Bahasa dan Tujuan Pengajaran Bahasa
Tujuan terpenting ialah mebentuk pengertian; yang berarti: mengajarkan perkataan-perkataan baru dengan artinya sekaligus kepada anak – anak. Oleh karena itu, pada saat anak belajar membaca permulaan, jangan mulai dari menghafal huruf, tetapi mulai dari pola kalimat sederhana dan lembaga kata. Biasakan anak untuk mendengar, membaca, dan menuliskan yang mempunyai arti ganda.
Sekalian perkataan yang diketahui artinya oleh anak – anak dikatakan: perbendaharaan bahasa. Perbendaharan bahasa itu bertambah terus menerus pada anak-anak ataupun orang dewasa. Penambahan perbendaharaan bahasa ini telah dimulai sejak kelas I, pada saat anak telah dapat menuliskan apa yang telah didengarnya. Contoh: Mulai dari huruf a Abu, aku, anak, asik, aci, acar, api, dan seterusnya.
Dalam menambah perbendaharaan bahasa anak-anak ini, yang paling penting bukanlah isi dan arti, melainkan bentuk bahasa itu; meskipun sesungguhnya isi dan bentuk itu sukar diceraikan, karena bentuk itu menentukan isi. Jadi: Tujuan pengajaran bahasa ialah:
a.Belajar memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan teliti, jadi menangkap
bahasa: mendengarkan dan membaca
b.Menyatakan pikiran dan perasaan sendiri dengan teliti, atau mempergunakan bahasa:
berbicara/bercakap cakap dan menulis (dalam arti mengarang).
D.Model Pembelajran ARIAS
Model pembelajaran ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS. Model ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction), dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987: 2-9) sebagai jawaban pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar. Model pembelajaran ini dikembangkan berdasarkan teori nilai harapan (expectancy value theory) yang mengandung dua komponen yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen model pembelajaran itu adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319).
Model pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Namun demikian, pada model pembelajaran ini tidak ada evaluasi (assessment), padahal evaluasi merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi yang dilaksanakan tidak hanya pada akhir kegiatan pembelajaran tetapi perlu dilaksanakan selama proses kegiatan berlangsung. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang dicapai atau hasil belajar yang diperoleh siswa (DeCecco, 1968: 610). Evaluasi yang dilaksanakan selama proses pembelajaran menurut Saunders et al. seperti yang dikutip Beard dan Senior (1980: 72) dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Mengingat pentingnya evaluasi, maka model pembelajaran ini dimodifikasi dengan menambahkan komponen evaluasi pada model pembelajaran tersebut.
Dengan modifikasi tersebut, model pembelajaran yang digunakan mengandung lima komponen yaitu: attention (minat/perhatian); relevance (relevansi); confidence (percaya/yakin); satisfaction (kepuasan/bangga), dan assessment (evaluasi). Modifikasi juga dilakukan dengan penggantian nama confidence menjadi assurance, dan attention menjadi interest. Penggantian nama confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena kata assurance sinonim dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80). Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak hanya percaya bahwa siswa akan mampu dan berhasil, melainkan juga sangat penting menanamkan rasa percaya diri siswa bahwa mereka merasa mampu dan dapat berhasil. Demikian juga penggantian kata attention menjadi interest, karena pada kata interest (minat) sudah terkandung pengertian attention (perhatian). Dengan kata interest tidak hanya sekedar menarik minat/perhatian siswa pada awal kegiatan melainkan tetap memelihara minat/perhatian tersebut selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Untuk memperoleh akronim yang lebih baik dan lebih bermakna maka urutannya pun dimodifikasi menjadi assurance, relevance, interest, assessment dan satisfaction. Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan pembelajaran untuk menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan pembelajaran ada relevansinya dengan kehidupan siswa, berusaha menarik dan memelihara minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan rasa bangga pada siswa dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan mengambil huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS sebagai akronim. Oleh karena itu, model pembelajaran yang sudah dimodifikasi ini disebut model pembelajaran ARIAS.
E. Komponen Pembelajaran ARIAS
Seperti yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.
Komponen pertama model pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu berhubungan dengan sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang berhubungan dengan harapan untuk berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan Driscoll (1988: 70) seseorang yang memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung akan berhasil bagaimana pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang merasa yakin, percaya dapat berhasil mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka bertingkah laku untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sikap ini mempengaruhi kinerja aktual seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap ini menimbulkan perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau harapan akan berhasil mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai suatu keberhasilan (Petri, 1986: 218). Siswa yang memiliki sikap percaya diri memiliki penilaian positif tentang dirinya cenderung menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus (Prayitno, 1989: 42). Sikap percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu ditanamkan kepada siswa untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal guna mencapai keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri dan merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong untuk melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang lain. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap percaya diri adalah:
-Membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan pada siswa
gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Menghadirkan seseorang yang terkenal
dalam suatu bidang sebagai pembicara, memperlihatkan video tapes atau potret
seseorang yang telah berhasil (sebagai model), misalnya merupakan salah satu cara
menanamkan gambaran positif terhadap diri sendiri dan kepada siswa. Menurut Martin
dan Briggs (1986: 427-433) penggunaan model seseorang yang berhasil dapat mengubah
sikap dan tingkah laku individu mendapat dukungan luas dari para ahli. Menggunakan
seseorang sebagai model untuk menanamkan sikap percaya diri menurut Bandura eperti
dikutip Gagne dan Briggs (1979: 88) sudah dilakukan secara luas di sekolah-sekolah.
-Menggunakan suatu patokan, standar yang memungkinkan siswa dapat mencapai
keberhasilan (misalnya dengan mengatakan bahwa kamu tentu dapat menjawab
pertanyaan di bawah ini tanpa melihat buku).
-Memberi tugas yang sukar tetapi cukup realistis untuk diselesaikan/sesuai dengan
kemampuan siswa (misalnya memberi tugas kepada siswa dimulai dari yang mudah
berangsur sampai ke tugas yang sukar). Menyajikan materi secara bertahap sesuai
dengan urutan dan tingkat kesukarannya menurut Keller dan Dodge seperti dikutip
Reigeluth dan Curtis dalam Gagne (1987: 175-202) merupakan salah satu usaha
menanamkan rasa percaya diri pada siswa.
-Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap mandiri dalam belajar dan melatih
suatu keterampilan.
Komponen kedua model pembelajaran ARIAS, relevance, yaitu berhubungan dengan kehidupan siswa baik berupa pengalaman sekarang atau yang telah dimiliki maupun yang berhubungan dengan kebutuhan karir sekarang atau yang akan datang (Keller, 1987: 2-9). Siswa merasa kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki tujuan yang jelas. Sesuatu yang memiliki arah tujuan, dan sasaran yang jelas serta ada manfaat dan relevan dengan kehidupan akan mendorong individu untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan mengetahui kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan didapat. Mereka juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Gagne dan Driscoll, 1988: 140).
Dalam kegiatan pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi ini. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam pembelajaran adalah:
-Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai. Tujuan yang jelas akan memberikan
harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan
tersebut (DeCecco,1968: 162). Hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka.
-Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang
dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa mendatang.
-Menggunakan bahasa yang jelas atau contoh-contoh yang ada hubungannya dengan
pengalaman nyata atau nilai- nilai yang dimiliki siswa.
Bahasa yang jelas yaitu bahasa yang dimengerti oleh siswa. Pengalaman nyata atau pengalaman yang langsung dialami siswa dapat menjembataninya ke hal-hal baru. Pengalaman selain memberi keasyikan bagi siswa, juga diperlukan secara esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik tolak yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik, sekaligus merupakan usaha melihat lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan (Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai alternatif strategi dan media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan demikian dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media pembelajaran pada setiap kegiatan pembelajaran.
Komponen ketiga model pembelajaran ARIAS, interest, adalah yang berhubungan dengan minat/perhatian siswa. Menurut Woodruff seperti dikutip oleh Callahan (1966: 23) bahwa sesungguhnya belajar tidak terjadi tanpa ada minat/perhatian. Keller seperti dikutip Reigeluth (1987: 383-430) menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran minat/perhatian tidak hanya harus dibangkitkan melainkan juga harus dipelihara selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan berbagai bentuk dan memfokuskan pada minat/perhatian dalam kegiatan pembelajaran. Herndon (1987:11-14) menunjukkan bahwa adanya minat/perhatian siswa terhadap tugas yang diberikan dapat mendorong siswa melanjutkan tugasnya. Siswa akan kembali mengerjakan sesuatu yang menarik sesuai dengan minat/perhatian mereka. Membangkitkan dan memelihara minat/perhatian merupakan usaha menumbuhkan keingintahuan siswa yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.
Minat/perhatian merupakan alat yang sangat berguna dalam usaha mempengaruhi hasil belajar siswa. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk membangkitkan dan menjaga minat/perhatian siswa antara lain adalah:
-Menggunakan cerita, analogi, sesuatu yang baru, menampilkan sesuatu yang lain/aneh
yang berbeda dari biasa dalam pembelajaran.
-Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam
pembelajaran, misalnya para siswa diajak diskusi untuk memilih topik yang akan
dibicarakan, mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang perlu dipecahkan.
-Mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran misalnya menurut Lesser seperti
dikutip Gagne dan Driscoll (1988: 69) variasi dari serius ke humor, dari cepat ke
lambat, dari suara keras ke suara yang sedang, dan mengubah gaya mengajar.
-Mengadakan komunikasi nonverbal dalam kegiatan pembelajaran seperti demonstrasi
dan simulasi yang menurut Gagne dan Briggs (1979: 157) dapat dilakukan untuk
menarik minat/perhatian siswa.
Komponen keempat model pembelajaran ARIAS adalah assessment, yaitu yang berhubungan dengan evaluasi terhadap siswa. Evaluasi merupakan suatu bagian pokok dalam pembelajaran yang memberikan keuntungan bagi guru dan murid (Lefrancois, 1982: 336). Bagi guru menurut Deale seperti dikutip Lefrancois (1982: 336) evaluasi merupakan alat untuk mengetahui apakah yang telah diajarkan sudah dipahami oleh siswa; untuk memonitor kemajuan siswa sebagai individu maupun sebagai kelompok; untuk merekam apa yang telah siswa capai, dan untuk membantu siswa dalam belajar. Bagi siswa, evaluasi merupakan umpan balik tentang kelebihan dan kelemahan yang dimiliki, dapat mendorong belajar lebih baik dan meningkatkan motivasi berprestasi (Hopkins dan Antes, 1990:31). Evaluasi terhadap siswa dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang telah mereka capai. Apakah siswa telah memiliki kemampuan seperti yang dinyatakan dalam tujuan pembelajaran (Gagne dan Briggs, 1979:157). Evaluasi tidak hanya dilakukan oleh guru tetapi juga oleh siswa untuk mengevaluasi diri mereka sendiri (self assessment) atau evaluasi diri. Evaluasi diri dilakukan oleh siswa terhadap diri mereka sendiri, maupun terhadap teman mereka. Hal ini akan mendorong siswa untuk berusaha lebih baik lagi dari sebelumnya agar mencapai hasil yang maksimal. Mereka akan merasa malu kalau kelemahan dan kekurangan yang dimiliki diketahui oleh teman mereka sendiri. Evaluasi terhadap diri sendiri merupakan evaluasi yang mendukung proses belajar mengajar serta membantu siswa meningkatkan keberhasilannya (Soekamto, 1994). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Martin dan Briggs seperti dikutip Bohlin (1987: 11-14) bahwa evaluasi diri secara luas sangat membantu dalam pengembangan belajar atas inisiatif sendiri. Dengan demikian, evaluasi diri dapat mendorong siswa untuk meningkatkan apa yang ingin mereka capai. Ini juga sesuai dengan apa yang dikemukakan Morton dan Macbeth seperti dikutip Beard dan Senior (1980: 76) bahwa evaluasi diri dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena itu, untuk mempengaruhi hasil belajar siswa evaluasi perlu dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan evaluasi antara lain adalah:
-Mengadakan evaluasi dan memberi umpan balik terhadap kinerja siswa.
-Memberikan evaluasi yang obyektif dan adil serta segera menginformasikan hasil
evaluasi kepada siswa.
-Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap diri sendiri.
-Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap teman.
Komponen kelima model pembelajaran ARIAS adalah satisfaction yaitu yang berhubungan dengan rasa bangga, puas atas hasil yang dicapai. Dalam teori belajar satisfaction adalah reinforcement (penguatan). Siswa yang telah berhasil mengerjakan atau mencapai sesuatu merasa bangga/puas atas keberhasilan tersebut. Keberhasilan dan kebanggaan itu menjadi penguat bagi siswa tersebut untuk mencapai keberhasilan berikutnya (Gagne dan Driscoll, 1988: 70). Reinforcement atau penguatan yang dapat memberikan rasa bangga dan puas pada siswa adalah penting dan perlu dalam kegiatan pembelajaran (Hilgard dan Bower, 1975:561). Menurut Keller berdasarkan teori kebanggaan, rasa puas dapat timbul dari dalam diri individu sendiri yang disebut kebanggaan intrinsik di mana individu merasa puas dan bangga telah berhasil mengerjakan, mencapai atau mendapat sesuatu. Kebanggaan dan rasa puas ini juga dapat timbul karena pengaruh dari luar individu, yaitu dari orang lain atau lingkungan yang disebut kebanggaan ekstrinsik (Keller dan Kopp, 1987: 2-9). Seseorang merasa bangga dan puas karena apa yang dikerjakan dan dihasilkan mendapat penghargaan baik bersifat verbal maupun nonverbal dari orang lain atau lingkungan. Memberikan penghargaan (reward) menurut Thorndike seperti dikutip oleh Gagne dan Briggs (1979: merupakan suatu penguatan (reinforcement) dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, memberikan penghargaan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi hasil belajar siswa (Hilgard dan Bower, 1975: 561). Untuk itu, rasa bangga dan puas perlu ditanamkan dan dijaga dalam diri siswa. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain :
- Memberi penguatan (reinforcement), penghargaan yang pantas baik secara verbal maupun non-verbal kepada siswa yang telah menampilkan keberhasilannya. Ucapan guru : "Bagus, kamu telah mengerjakannya dengan baik sekali!". Menganggukkan kepala sambil tersenyum sebagai tanda setuju atas jawaban siswa terhadap suatu pertanyaan, merupakan suatu bentuk penguatan bagi siswa yang telah berhasil melakukan suatu kegiatan. Ucapan yang tulus dan/atau senyuman guru yang simpatik menimbulkan rasa bangga pada siswa dan ini akan mendorongnya untuk melakukan kegiatan lebih baik lagi, dan memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya.
-Memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan/keterampilan yang baru
diperoleh dalam situasi nyata atau simulasi.
-Memperlihatkan perhatian yang besar kepada siswa, sehingga mereka merasa dikenal
dan dihargai oleh para guru.
-Memberi kesempatan kepada siswa untuk membantu teman mereka yang mengalami
kesulitan/memerlukan bantuan.
E. Penggunaan Model Pembelajaran ARIAS
Penggunaan model pembelajaran ARIAS perlu dilakukan sejak awal, sebelum guru melakukan kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini digunakan sejak guru atau perancang merancang kegiatan pembelajaran dalam bentuk satuan pelajaran misalnya. Satuan pelajaran sebagai pegangan (pedoman) guru kelas dan satuan pelajaran sebagai bahan/materi bagi siswa. Satuan pelajaran sebagai pegangan bagi guru disusun sedemikian rupa, sehingga satuan pelajaran tersebut sudah mengandung komponen-komponen ARIAS. Artinya, dalam satuan pelajaran itu sudah tergambarkan usaha/kegiatan yang akan dilakukan untuk menanamkan rasa percaya diri pada siswa, mengadakan kegiatan yang relevan, membangkitkan minat/perhatian siswa, melakukan evaluasi dan menumbuhkan rasa dihargai/bangga pada siswa. Guru atau pengembang sudah merancang urutan semua kegiatan yang akan dilakukan, strategi atau metode pembelajaran yang akan digunakan, media pembelajaran apa yang akan dipakai, perlengkapan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana cara penilaian akan dilaksanakan. Meskipun demikian pelaksanaan kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan situasi, kondisi dan lingkungan siswa. Demikian juga halnya dengan satuan pelajaran sebagai bahan/materi untuk siswa. Bahan/materi tersebut harus disusun berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Bahasa, kosa kata, kalimat, gambar atau ilustrasi, pada bahan/materi dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa, bahwa mereka mampu, dan apa yang dipelajari ada relevansi dengan kehidupan mereka. Bentuk, susunan dan isi bahan/materi dapat membangkitkan minat/perhatian siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengadakan evaluasi diri dan siswa merasa dihargai yang dapat menimbulkan rasa bangga pada mereka. Guru dan/atau pengembang agar menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti, kata-kata yang jelas dan kalimat yang sederhana tidak berbelit-belit sehingga maksudnya dapat dengan mudah ditangkap dan dicerna siswa. Bahan/materi agar dilengkapi dengan gambar yang jelas dan menarik dalam jumlah yang cukup. Gambar dapat menimbulkan berbagai macam khayalan/fantasi dan dapat membantu siswa lebih mudah memahami bahan/materi yang sedang dipelajari.
Siswa dapat membayangkan/mengkhayalkan apa saja, bahkan dapat membayangkan dirinya sebagai apa saja (McClelland, 1987: 29). Bahan/materi disusun sesuai urutan dan tahap kesukarannya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan keingintahuan dan memungkinkan siswa dapat mengadakan evaluasi sendiri.
B A B I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan SMA dalam bidang study Bahasa Indonesia berdasarkan GBPP Kurikulum 2004 mengamanatkan bahwa untuk pembelajaran menulis, berbasis pada pendekatan komunikatif, integratif, dan proses yang tidak terpisahkan dari aspek berbahasa yang lain, seperti menyimak (listening), membaca (reading), berbicara (speaking) (Depdikbud,1993:3). Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya harus disajikan secara terpadu meskipun berfokus pada keterampilan menulis.
Akhadiyah (1997:1.4) mengemukakan bahwa hasil survei yang dilakukan oleh penulis kepada guru bahasa Indonesia umumnya mereka mengatakan bahwa menulis adalah aspek pembelajaran bahasa Indonesia yang paling tidak disukai untuk mempelajari dan mengajarkannya. Jadi, selama mereka berprofesi sebagai guru, hampir tidak pernah melakukan aktivitas karang-mengarang, sehingga sebagai penulis berkata dalam hati, "Kalau gurunya saja tidak menyukai menulis, maka bagaimana muridnya? Jelas bahwa, jika seorang guru tidak pernah mem-punyai pengalaman menulis, maka bagaimana mereka dapat merasakan romantika dan pengalaman seorang penulis?".
Pembelajaran menulis, khususnya menulis deskripsi sugestif belum terlaksana dengan baik di sekolah. Kelemahannya terletak pada kurang berva-riasinya metode yang digunakan oleh guru. Hal ini mengakibatkan siswa kurang memiliki minat untuk menulis. Pada akhirnya siswa akan beranggapan bahwa menulis tidak penting atau bahkan mereka belum mengetahui peranan menulis bagi kelanjutan studi mereka.
Berdasarkan GBPP Bahasa Indonesia SMA Kurikulum Pendidikan 2004, pembelajaran menulis deskripsi sugestif disampaikan di kelas Xl aemester 1. Dalam GBPP tersebut dinyatakan bahwa siswa diharapkan dapat menulis objek yang ada di sekitarnya (pertanian, perkebunan, pertambangan, tempat, gunung dsb.), yang selanjutnya dipublikasikan di depan kelas, majalah dinding (kelas dan sekolah), ataupun media massa. Pada kenyataannya kegiatan menulis deskripsi sugestif di sekolah sering tidak mendapatkan perhatian yang cukup.
Berdasarkan pengamatan peneliti di kelas X1 SMA Negeri 1 Karangjati, maka ditemukan beberapa fenomena sebagai berikut (1) keterampilan menulis khusus-nya menulis deskripsi sugestif kurang penting, karena guru kurang memahami perihal menulis deskripsi sugestif, (2) implementasi pembelajaran menulis deskripsi sugestif masih berorientasi pada produk atau hasil saja, (3) keterampilan menulis khususnya menulis deskripsi sugestif masih disikapi sebagai kegiatan sampingan dan untuk tugas jika ada jam kosong mata pelajaran Bahasa Indonesia, (4) kegiatan pembelajaran menulis deskripsi sugestif belum pernah menggunakan pendekatan proses yang melalui pentahapan, (5) pembelajaran menulis yang selama ini dilakukan kurang menerapkan interaksi multi arah, antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan teks, dan (6) pembelajaran menulis belum sesuai dengan tingkat intelektual siswa, sehingga kurang diminati dan terlalu monoton atau kurang variatif. Hal yang lebih memprihatinkan, sistem evaluasi yang masih tertumpu pada produk atau hasil dan tidak menggunakan langkah evaluasi yang sistematis, sesuai dengan kriteria yang ada. Evaluasi sering dilaksanakan sepintas dan serampangan saja, dengan orientasi akhir nilai bahasa Indonesia. Oleh karena itu, perlu dicari pendekatan lain yang bisa meminimalisasi kekurangan sistem evaluasi tersebut. Dalam hal ini ada salah satu pendekatan atau strategi pembelajaran menulis deskripsi sugestif yang mungkin bisa mening-katkan pencapaian tujuan yakni pendekatan proses. Dengan pendekatan proses ini, guru diharapkan dapat mengamati siswa mengenai proses melalui awal hingga menjadi karangan deskripsi sugestif.
Pendekatan proses dalam menulis meliputi beberapa tahapan yakni prapenulisan, pemburaman, perevisian, penyuntingan, dan pemublikasian. Tompkins (1994:19), menganjurkan bahwa dalam pembelajaran menulis agar hasilnya bisa optimal harus melalui proses atau tahapan. Hal itu mengingat bahwa mayoritas menulis itu merupakan suatu proses kreatif dan tidak sekali jadi. Menurut Aminudin (1998:8), pendekatan proses merupakan pembelajaran yang pada intinya berisi konsepsi pengalaman belajar yang bermakna yang diperoleh apabila siswa menghayati sesuatu yang dijelaskan guru. Sesuatu yang dijelaskan guru itu dihayati, diidentifikasi, digambarkan, dimaknai, dan dipahami oleh siswa. Pemahaman tersebut mengacu pada sesuatu yng dipelajari, disimpulkan sendiri oleh siswa setelah sesuatu yang dijadikan objek pembelajaran itu dihayati siswa.
Pendekatan ini juga mendorong berlangsungnya kegiatan pembelajaran secara kolabortif di antara siswa. Hal ini sebagai suatu cara untuk meningkatkan motivasi terhdap menulis. Sejalan dengan konsep yang diungkapkan Burn dan Ross (1991:25)(dalam Januhadi, 2002:6) bahwa pendekatan proses adalah pendekatan menulis yang berpusat pada siswa. Maksudnya siswa dalam pembelajaran harus berpartisipasi aktif dalam proses menulis. Di samping itu pendekatan proses dalam menulis, sejalan dengan pendekatan terpadu dalam pendekatan “Whole Language” bahwa pembelajaran tidak dilaksanakan terpisah-pisah akan tetapi dilaksanakan secara utuh sesuai dengan minat, kemampuan, dn keperluan belajar.
Selama ini, keadaan pembelajaran menulis deskripsi sugestif memang kurang menarik. Hal ini disebabkan, guru belum bisa mencari materi, strategi, metode yang cocok untuk mengajarkan menulis deskripsi sugestif. Siswa kurang berminat serta kurang tertarik materi pelajaran menulis pada umumnya dan khususnya materi menulis deskripsi sugestif.
Hal ini seperti yang dialami oleh guru-guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Karangjati, khususnya guru bahasa Indonesia kelas X1. Bukti lain yang menunjukkan kekurangtertarikan guru dan siswa dalam pembelajaran menulis, terutama menulis deskripsi sugestif adalah hasil survei awal melalui pengamatan di sekolah lewat Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sekolah (MGMPS) Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Karangjati dan dalam forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia Kabupaten Ngawi. Para guru sering mengeluh tentang cara yang efektif dalam rangka meningkatkan pembelajaran menulis deskripsi sugestif yang menarik dan selalu diminati oleh siswa.
Pembelajaran keterampilan menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses diharapkan dapat menjadikan guru untuk mengembangkan metode, pendekatan, dan strategi pembelajaran menulis secara optimal. Pembelajaran menulis deskripsi dengan pendekatan proses diharapkan dapat digunakan untuk menghilangkan mitos atau pendapat yang keliru tentang menulis dan pengajarannya, yaitu (1) menulis itu mudah, (2) kemampuan menggunakan unsur mekanik tulisan merupakan inti dari menulis, (3) menulis itu harus sekali jadi, dan (4) orang yang tidak menyukai dan tidak pernah menulis dapat mengajarkan menulis (Akhadiyah, 1997:1.7.-1.8). Pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses, diharapkan dapat mengembangkan kerja sama siswa dengan siswa, siswa dengan guru, menumbuhkan minat dan motivasi, mencapai hasil belajar, dan mencapai tujuan pembelajaran melalui pentahapan menulis, yaitu tahap prapenulisan, pemburaman, perevisian dan penyuntingan, serta tahap pemublikasian.
Berdasarkan uraian di atas, perlu adanya penelitian tentang peningkatan pembelajaran menulis, khususnya pembelajaran menulis deskripsi sugestif. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil judul “ Peningkatan Pembelajaran Menulis Deskripsi Sugestif dengan Pendekatan Proses di Kelas XI SMA Negeri 1 Ngawi”. Penelitian ini relatif masih baru dan belum pernah dilakukan. Selama ini, belum ada penelitian tentang “ Peningkatan Pembelajaran Menulis Deskripsi Sugestif dengan Pendekatan Proses di Kelas XI SMA Negeri 1 Karangjati”.
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Karangjati. Pemilihan tempat penelitian didasarkan pada pertimbangan (1) Tempat tugas mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia (2). SMA Negeri 1 Karangjati merupakan salah satu sekolah Negeri yang memiliki kondisi fisik, sarana, maupun guru-guru yang cukup memadai, sehingga perlu untuk dilaksanakan penelitian, (3) SMA Negeri 1 Karangjati merupakan salah satu SMA kurang favorit di kota Ngawi. Tentunya siswa yang bersekolah di tempat ini anak-anak dari masyarakat menengah dan terpelajar, sehingga kondisi ini sangat mendukung proses pembelajaran, dan (4) Teman guru-guru SMA Negeri 1 Karangjati khususnya guru bahasa Indonesia sangat terbuka terhadap pembaruan dan perubahan serta bersedia untuk berkolaborasi, sehingga memungkinkan dilaksanakan penelitian tindakan ini.
1.2 Masalah Penelitian
Masalah pokok penelitian ini adalah “Bagaimana Peningkatan Pembe-lajaran Menulis Deskripsi Sugestif dengan Pendekatan Proses di Kelas XI SMA Negeri 1 Karangjati?”. Masalah Penelitian tersebut dijabarkan berikut ini.
(1) Bagaimana peningkatan pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses di kelas XI SMA Negeri 1 Karangjati pada tahap prapenulisan?
(2) Bagaimana peningkatan pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses di kelas XI SMA Negeri 1 Karangjati pada tahap pemburaman?
(3) Bagaimana peningkatan pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses di kelas X1 SMA Negeri 1 Karangjati pada tahap perevisian dan penyuntingan?
(4) Bagaimana peningkatan pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses di kelas X1 SMA Negeri 1 Karangjati pada tahap pemublikasian?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan deskripsi objektif tentang "Peningkatan Pembelajaran Menulis Deskripsi Sugestif Dengan Pendekatan Proses di Kelas XI SMA Negeri 1 Karangjati”. Kemudian, dari tujuan umum itu dijabarkan menjadi tujuan khusus berikut ini.
(1) Mendeskripsikan peningkatan pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses di kelas X1 SMA Negeri 1 Karangjati pada tahap prapenulisan.
(2) Mendeskripsikan peningkatan pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses di kelas X1 SMA Negeri 1 Karangjati pada tahap pemburaman.
(3) Mendeskripsikan peningkatan pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses di kelas XI SMA Negeri 1 Karangjati pada tahap perevisian dan penyuntingan.
(4) Mendeskripsikan peningkatan pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses di kelas XI SMA Negeri 1 Karangjati pada tahap pemublikasian.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini terfokus pada informasi faktual tentang hakikat pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses di kelas XI SMA Negeri 1 Karangjati pada tahap prapenulisan, pemburaman, perevisian dan penyuntingan, serta tahap pemublikasian yang dilakukan oleh guru SMA Negeri 1 Karangjati pada saat pembelajaran menulis deskripsi sugestif. Peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberikan manfaat konstruktif baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai landasan teori Pembelajaran Menulis Deskripsi Sugestif di Kelas XI SMA Negeri 1 Karangjati. Penelitian ini diharapkan pula dapat menumbuhkembangkan teori pembelajaran keterampilan menulis bahasa Indonesia siswa kelas XI yang dikaitkan dengan tanggapan siswa terhadap menulis.
Secara Praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak antara lain (1) Kami guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Karangjati khususnya, dan SMA yang lain pada umumnya, sebagai ancangan dalam praktek mengajar di kelas, (2) para calon guru sebagai alternatif atau model pembelajaran keterampilan menulis bahasa Indonesia yang integratif dan komunikatif, serta (3) peneliti lain sebagai acuan praktek dalam pembelajaran.
1.5 Asumsi Penelitian
Penelitian ini mengasumsikan hal-hal berikut ini.
(1) Pembelajaran yang dilakukan guru di dalam kelas merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara multi arah, antara guru dan siswa, siswa dengan siswa.
(2) Siswa memberikan tanggapan yang baik selama pembelajaran keterampilan menulis deskripsi sugestif berlangsung.
(3) Pembelajaran menulis deskripsi sugestif di kelas XI SMA dapat dilatihkan dan ditingkatkan.
(4) Peningkatan kemampuan menulis deskripsi sugestif dilakukan dengan pentahapan, yaitu tahap prapenulisan, tahap pemburaman, tahap perevisian, tahap penyuntingan, dan tahap pemublikasian.
(5) Pendekatan proses dapat meningkatkan pembelajaran menulis deskripsi sugestif.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mempunyai ruang lingkup yang dikemukakan berikut ini.
(1) Penelitian ini terbatas pada peningkatan pembelajaran menulis deskripsi su-gestif dengan pendekatan proses di kelas XI SMA Negeri 1 Karangjati. Oleh sebab itu, dalam mentransfer hasil penelitian ini perlu sekali memper-timbangkan setting pembelajaran keterampilan menulis, khususnya keteram-pilan menulis deskripsi sugestif di kelas XI SMA Negeri 1 Karangjati,
(2) Pelaksanaan pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses secara objektif bisa (1) mengembangkan kerjasama, (2) menumbuhkan rasa percaya diri, (3) menggunakan waktu secara tepat, dan (4) mencapai hasil belajar.
(3) Penelitian peningkatan pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses dilakukan melalui pentahapan, yaitu tahap prapenulisan, tahap pemburaman, tahap perevisian, tahap penyuntingan, dan tahap pemublikasian.
(4) Keberhasilan pembelajaran menulis deskripsi sugestif dengan pendekatan proses didasarkan pada evaluasi proses dan hasil.
1.7 Batasan Istilah
Untuk menghindari salah interpretasi terhadap istilah yang secara operasional digunakan dalam penelitian ini, berikut dikemukakan beberapa pengertian
dalam bentuk konsepsi definitif. Istilah-istilah yang dimaksud sebagai berikut.
(1) Yang dimaksud peningkatan pembelajaran dalam penelitian ini adalah meningkatkan proses membuat siswa melakukan proses belajar sesuai dengan rancangan.
(2) Yang dimaksud menulis deskripsi sugestif adalah menulis deskripsi yang bertujuan membangkitkan daya khayal, kesan atau sugesti tertentu, seolah-olah pembaca melihat sendiri objek yang dideskripsikan secara keseluruhan seperti yang dialami secara fisik oleh penulisnya. Ini diusahakan penulis dengan memindahkan kesan-kesan, hasil pengamatan, dan perasaannya kepada pembaca.
(3) Yang dimaksud pendekatan proses adalah pendekatan pembelajaran yang beranggapan bahwa pengalaman belajar yang bermakna diperoleh apabila siswa menghayati sesuatu yang dijelaskan guru. Sesuatu yang dijelaskan guru akan dihayati, diidentifikasi, digambarkan, dan dipahami oleh siswa. Pemahaman tersebut mengacu pada sesuatu yang dipelajari dan disimpulkan sendiri oleh siswa setelah siswa menghayati sesuatu yang dijadikan objek pembelajaran. Adapun pendekatan proses dalam menulis deskripsi sugestif meliputi pentahapan, yaitu (1) tahap prapenulisan, (2) tahap pemburaman, (3) tahap perevisian dan tahap penyuntingan, serta (4) tahap pemublikasian.
(4) Yang dimaksud tahap prapenulisan adalah periode persiapan menulis yang meliputi kegiatan (a) menentukan tema yang bernuansa kebaruan, (b) merumuskan judul yang menarik dan aktual, dan (c) menyusun kerangka karangan deskripsi sugestif.
(5) Yang dimaksud tahap pemburaman adalah proses pengembangan kerangka karangan deskripsi sugestif menjadi buram yang meliputi kegiatan (a) menentukan unsur-unsur karangan deskripsi sugestif, (b) mengembangkan unsur-unsur karangan deskripsi sugestif yang meliputi objek, suasana, dan perasaan, dan (c) mengolah bahasa yang meliputi penggunaan ejaan, tanda baca, kata, kalimat, paragraf, daan sistematika penulisan.
(6) Yang dimaksud tahap perevisian dan penyuntingan adalah kegiatan yang berorientasi dalam merevisi dan menyunting buram karangan deskripsi sugestif yang meliputi komponen bahasa, isi karangan, dan unsur kebaruan sampai dengan menulis kembali buram karangan deskripsi sugestif menjadi tulisan jadi.
(7) Yang dimaksud tahap pemublikasian adalah kegiatan mengekspos hasil karya siswa dengan orang lain bisa melalui dibacakan di depan kelas, dipajang di majalah dinding, dipasang di media massa.